Nuansa Metro - Jakarta | Upaya mediasi kelima dalam perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan nomor 564/Pdt.G/2024/PN Jakarta Pusat kembali menemui jalan buntu. Proses yang berlangsung pada Kamis, 7 November 2024, itu gagal mencapai kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa.
Richard William, selaku penggugat yang diwakili oleh kuasa hukum Slamet Effendy, menyoroti banyaknya kejanggalan dalam proses hukum. Dalam keterangan pers di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Richard menyebutkan bahwa prosedur mediasi bukan hanya soal menerima atau menolak putusan yang sudah inkrah, tetapi lebih kepada mempertanyakan dasar-dasar hukum yang melandasi putusan tersebut.
“Kami tidak mempermasalahkan substansi putusan secara langsung, melainkan proses yang melahirkan putusan tersebut. Apakah sudah dilakukan sesuai aturan atau tidak?” ungkap Richard.
Keabsahan Putusan Dipertanyakan**
Salah satu sorotan utama adalah keabsahan proses sidang. Richard mempertanyakan apakah putusan telah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, sesuai amanat undang-undang.
“Putusan hanya dianggap sah jika dibacakan secara terbuka. Jika tidak, maka ada alasan kuat untuk menggugat keabsahannya,” tegasnya.
Tak hanya itu, Richard mengungkapkan adanya dugaan kesalahan dalam jumlah hakim yang menangani kasus kliennya. Ia menilai jumlah hakim yang berjumlah empat orang melanggar ketentuan yang mengharuskan komposisi hakim dalam jumlah ganjil.
“Jumlah hakim yang menangani perkara ini seharusnya ganjil, misalnya 3 atau 5. Tapi di kasus ini ditemukan empat hakim, yang jelas-jelas melanggar prosedur,” ujarnya.
Pertentangan Putusan dan Indikasi Tindak Pidana
Situasi semakin rumit ketika ditemukan pertentangan antara putusan kasasi dan peninjauan kembali (PK). Di tingkat kasasi, klien Richard dinyatakan bersalah, sementara di PK justru dinyatakan sebaliknya.
“Perbedaan ini menimbulkan kebingungan yang serius. Kami butuh kepastian hukum,” tambahnya.
Lebih jauh, Richard mengungkap indikasi tindak pidana korupsi yang disebut dalam putusan. Namun, hingga kini, tidak ada bukti kerugian negara yang ditemukan dalam berkas perkara.
“Jika benar ada korupsi, mana buktinya? Ini seperti jebakan hukum yang dirancang untuk menjatuhkan klien kami,” tudingnya.
Ketidakhadiran Tergugat dan Dugaan Pemalsuan Dokumen
Mediasi juga terganjal oleh ketidakhadiran para tergugat. Menurut Richard, tujuh pihak tergugat utama dan lima turut tergugat tidak hadir dalam proses mediasi, tanpa alternatif pertemuan virtual. Hal ini, kata dia, menunjukkan itikad buruk dari pihak tergugat.
“Kami kecewa dengan absennya para tergugat. Ini menambah buruk citra proses hukum di PN Jakpus,” keluhnya.
Selain itu, pihaknya telah melaporkan dugaan pemalsuan dokumen oleh enam pejabat Komisi Yudisial (KY) dan tiga hakim ke Polda Metro Jaya.
“Kami memiliki bukti kuat bahwa ada perubahan tidak sah dari putusan perdata menjadi putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI),” beber Richard.
Harapan untuk Transparansi
Richard berharap proses hukum di tingkat banding, kasasi, maupun PK di Mahkamah Agung dapat berjalan lebih transparan.
“Persidangan terbuka untuk umum adalah hak masyarakat. Ini demi mencegah putusan keluar tiba-tiba tanpa proses yang transparan,” pungkasnya.
Dengan bukti-bukti yang telah disiapkan, Richard William and Partner berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Masyarakat pun diharapkan dapat terus mengawasi jalannya proses hukum demi tegaknya keadilan.
• IRF/Zul
0 Komentar